success stories THE S.I.G.I.T
“Yang
diperlukan untuk membuat sebuah band dan mengupayakan supaya bandnya
bisa sukses atau setidaknya berjalan terus adalah kesungguhan dan
usaha, sisanya adalah murni unsur keberuntungan.” - Rektivianto Yoewono, vokalis THE S.I.G.I.T
The
S.I.G.I.T bukanlah sebuah band karbitan yang sekedar mengandalkan
unsur keberuntungan. Perjalanan karir mereka dimulai dari pertemanan
semenjak duduk di bangku sekolah menengah pertama. Proses demi proses
mereka lalui hingga kini The S.I.G.I.T banyak dianggap sebagai salah
satu grup musik garda depan dari generasi muda di dunia musik rock
Indonesia.
Pada awalnya, para personil The S.I.G.I.T yakni Rektivianto Yoewono
(Vocal, gitar), Farri Icksan Wibisana (Gitar), Aditya Bagja Mulyana
(Bas, vokal latar) dan Donar Armando Ekana / Acil (Drum) hanyalah
sekumpulan pecinta musik akut yang setiap hari di kepala mereka berisi
band-band favorit serta segala seluk beluk teknis musik seperti gitar,
efek ataupun cerita-cerita biografi. “Mungkin tarafnya sama seperti
anak remaja yang menggilai pemain bola dan tim sepak bola,“ kenang
Rekti mengenai masa remajanya dulu.
Berangkat dari kecintaan yang dalam terhadap musik serta mengidolakan
berbagai band yang sama, maka kala itu mereka berempat sepakat untuk
mengubah predikat selama ini dari pendengar musik menjadi pemain musik.
Kemampuan bermain musik yang mereka pelajari secara otodidak menjadi modal awal untuk menjadi ‘anak band’. “Skill permainan masing-masing juga berawal dari tahap yang sama dan pengembangan skill permainan dan pembuatan lagu juga diasah bareng selama ini,” tukas Rekti.
Walau sudah bermain musik bersama sedari SMP (1997), namun nama The S.I.G.I.T baru digunakan pada tahun 2002, saat mereka tengah duduk di bangku perguruan tinggi seiring juga mereka memfokuskan diri untuk memainkan lagu-lagu ciptaan sendiri. Sebelum menggunakan nama The S.I.G.I.T, band ini kerap memainkan berbagai lagu dari banyak band idola mereka seperti Led Zeppelin, The Clash dan The Stooges.
Walau sudah bermain musik bersama sedari SMP (1997), namun nama The S.I.G.I.T baru digunakan pada tahun 2002, saat mereka tengah duduk di bangku perguruan tinggi seiring juga mereka memfokuskan diri untuk memainkan lagu-lagu ciptaan sendiri. Sebelum menggunakan nama The S.I.G.I.T, band ini kerap memainkan berbagai lagu dari banyak band idola mereka seperti Led Zeppelin, The Clash dan The Stooges.
Nama
The S.I.G.I.T sendiri merupakan kepanjangan dari The Super Insurgent
Group of Intemperance Talent yang merupakan buah pikiran Rekti yang
terinspirasi dari nama-nama band di luar sana yang kerap menggunakan
singkatan yang memiliki banyak arti.
Penampilan
perdana mereka di bawah nama The S.I.G.I.T terjadi pada tanggal 23
Oktober 2003 dalam sebuah acara fakultas Arsitektur, Universitas
Parahyangan. Kebetulan Farri dan Acil memang berkuliah disana. Setelah
penampilan perdana tersebut, nama The S.I.G.I.T pelan-pelan mulai
bergaung di kalangan kampus. Acara demi acara di kampus mulai menjadi
santapan mingguan mereka.
Penampilan
perdana mereka di bawah nama The S.I.G.I.T terjadi pada tanggal 23
Oktober 2003 dalam sebuah acara fakultas Arsitektur, Universitas
Parahyangan. Kebetulan Farri dan Acil memang berkuliah disana. Setelah
penampilan perdana tersebut, nama The S.I.G.I.T pelan-pelan mulai
bergaung di kalangan kampus. Acara demi acara di kampus mulai menjadi
santapan mingguan mereka.
Hingga
pada saat itu, mereka mendapat tawaran dari Spills Records untuk
merilis sebuah mini album. Di tahun 2004, debut mini album yang hanya
dikerjakan dalam waktu dua minggu akhirnya dirilis dan mendapat
sambutan positif dari berbagai pihak. Walau begitu, pemunculan mereka
kala itu juga tidak lepas dari komentar miring sebagian pihak yang
menganggap mereka hanyalah band yang mengikuti tren saja. Anggapan itu
muncul karena musik rock yang mereka mainkan serupa dengan musik garage
rock yang di awal periode 2000-an sedang naik daun. Untuk anggapan
miring tersebut, Rekti berpendapat, “Memang kebetulan pada era awal
2000an sedang marak band-band rock revival seperti The
Strokes, The Datsuns, The White Stripes dan mereka saat itu ‘dilabeli’
sebagai garage rock. Memang kami mengikuti dan mendengarkan band-band
tersebut. Bukan karena sedang booming, melainkan karena kami selalu
menggemari musik semacam itu. Dan yang kami rasakan saat itu adalah
euforia. Bayangkan gimana rasanya aliran musik yang anda gemari bangkit
kembali dan bermunculan lagi band-band yang menarik. Namun tanpa
adanya booming garage rock pun saya yakin kami akan menjadi band
seperti kami sekarang, yang mendapatkan banyak influence dari band rock 60-70an.”
0 komentar:
Posting Komentar